Sangat menarik untuk mengetahui bahwa satu kalimat yang diucapkan oleh seseorang terhadap kita, jika waktu, momen, dan tempatnya tepat, akan dapat mengubah sikap kita terhadap suatu hal, bahkan secara radikal. Bisa jadi itu sudah terjadi pada anda. Mungkin terjadi pada anda ketika calon pacar anda mencoba ‘nembak’ anda sebagai pacar. Mungkin juga terjadi ketika orang tua anda mengatakan bahwa anda harus masuk jurusan kuliah tertentu, karena jurusan kuliah yang anda inginkan tidak menjamin anda sukses. Well, momen apa pun itu dan siapa pun orang yang mengatakan hal tersebut yang mampu mengubah sikap anda, saya yakin bahwa kita semua pernah mengalaminya. Kali ini, waktunya saya untuk menceritakan momen yang saya alami.


Singkat kata, semuanya berawal dari sebuah sore yang sunyi di awal bulan Oktober. Dua hari yang lalu, saya baru saja pulang dari tanah Kalimantan di dekat sungai Mahakam. Saya harus ke sana karena ada kewajiban terhadap salah satu organisasi nasional hebat tempat saya berkontribusi, yaitu ILMPI. Sebagai Pengurus Harian Nasional, tentu saya harus datang ke Rapat Koordinasi Nasional, tidak peduli mau sejauh apa pun itu. Untung saja pengurus BEM sangat suportif dalam mendukung saya dan ILMPI (terima kasih Diana, Salim, Ijah, Mia, dkk ;) ), sehingga masalah dana pun bisa ter-cover. Pertama kali menginjakkan kaki di Kalimantan memang merupakan pengalaman yang sangat mistik, entah mengapa sungai Mahakam setiap teringat di otak saya sampai sekarang tetap membuat saya merinding akan kehebatan dan kebesarannya.

Sayangnya, kondisi saya saat itu memang tidak sedang ada dalam kondisi yang baik, khususnya di bagian finansial. Saya harus bertarung dengan kondisi ayah saya yang stroke dan lumpuh sampai sekarang, terhitung sejak akhir bulan April 2017 lalu. Alhasil, segala masalah mulai muncul. Cicilan dari Ayah saya membludak. Mulai dari cicilan rumah, motor, biaya hidup, sampai ke biaya kuliah yang sampai sekarang belum saya bayar. Saya yang biasa hidup nyaman akhirnya merasakan sendiri dipukul oleh kehidupan.


Sayangnya, masalahnya bukan hanya itu. Ya, masalahnya kehidupan saya di pertengahan 2017 saat ini memang sedang hectic-hecticnya. Masalah akademis, tanggung jawab di tiga lembaga dengan jabatan tinggi yang harus saya pegang sekaligus (Ketua angkatan, BEM F. Psi UI, dan ILMPI), dan juga masalah finansial. Belum lagi di setiap lembaganya terdapat permasalahan internal maupun eksternal. Belum lagi tugas yang perlu uang administrasi seperti untuk print dsb. Belum lagi ini. Belum lagi itu.

Alhasil, sebetulnya sore hari itu saya betul-betul ingin istirahat. Bukan hanya karena capek secara fisik, namun juga mental. Seorang Ifandi yang mungkin biasanya tahan dengan segala tekanan saat itu setengah sadar, di satu sisi ia tahu bahwa ia kuat, namun di satu sisi ia sadar bahwa ia adalah manusia, yang bisa juga untuk merasa cukup. Ya, saya merasa sudah cukup dengan semua masalah, saat itu saya bisa tahu bahwa secara psikologis saya mencapai absolute threshold untuk burnout. Namun sore itu saya sadar bahwa malamnya saya memang harus menghadiri kewajiban lain, yakni rapat Tim Inti dan Badan Pengurus Harian (RATIBPH). Tentu saya belum bisa istirahat. Belum, Van.

Malamnya, saya hadir di RATIBPH, dan menariknya seiring dengan berjalannya rapat, saya mendengar ada kabar buruk dari Dept. Adkesma (Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa). Bahwa status saya sebagai mahasiswa akan dikosongkan, dan saya tidak bisa kuliah lagi semester tersebut. Dengan naifnya, saya saat itu tidak percaya dengan perkataan tersebut. Saya percaya bahwa UI tidak akan mengeluarkan mahasiswanya yang tidak mampu bayar biaya kuliah. Apalagi saya sudah mengurus segala administrasi untuk keringanan dari bulan Mei. Saya pikir, sungguh keterlaluan apabila hal ini terjadi pada saya.

Namun seperti yang sudah disangka-sangka, besoknya saya dipanggil ke ruangan salah satu pejabat fakultas. Inilah momen itu. Waktu, tempat, dan momen yang pas untuk mengatakan sesuatu yang mungkin bisa mengubah sikap saya secara radikal. Dan memang betul, itu mengubah sikap saya.

“Ifandi, saya ada kabar buruk. IRS kamu tidak bisa diurus lagi oleh Fakultas. Jadi, kamu gak usah masuk kuliah lagi di semester ini. Saya juga ada tawaran untuk kamu kerja digitalisasi data alumni, untuk mengisi kekosongan kuliah kamu di semester ini.”
Saya rasa tidak perlu saya ceritakan detil bagaimana saya menjawab tawaran dan pemberitahuan tersebut. Sebagai Kepala Departemen Kajian dan Aksi Strategis, tentu saya harus tetap mempertahankan bargaining position, saya tidak bisa marah, namun tidak bisa juga menyerah begitu saja. Saat ini saya adalah akademisi, DAN HARUS TETAP MENJADI AKADEMISI.

Kali ini bukan saatnya untuk menyerah. Saya sadar bahwa ada yang salah dengan pemberitahuan dan tawaran tersebut. Bayangkan saja, 3 hari lagi saya UTS, saya sudah mengurus administrasi sejak Mei, dan pemberitahuan inilah yang saya dapatkan. Saya bisa telat satu tahun jika kondisi ini dibiarkan begitu saja. Saya pun memberikan penjelasan kepada si pejabat fakultas, sekaligus ultimatum, bahwa saya tidak akan diam. Tentu saya akan menggunakan power saya sebagai Kepala Departemen Kajian dan Aksi Strategis dan Pengurus Harian Nasional ILMPI jika masalah ini tidak bisa selesai. Setelah diberi penjelasan, Alhamdulillah, ternyata kondisi saya masih bisa diperjuangkan.

Hal yang menarik adalah sekarang, kondisi saya mungkin sudah agak mendingan. Masalah finansial sedikit demi sedikit mulai bisa diselesaikan. Organisasi masih bisa saya jalani. Akademis? Bukan masalah selama IP saya tidak ada di bawah 3.00. Banyak pula teman yang selalu mendukung dan menawarkan bantuan.

Yang menjadi masalah sekarang mungkin adalah terkait dengan sikap saya terhadap kuliah dan hidup yang cukup berubah secara drastis. Satu kalimat utama dalam narasi pemberitahuan di atas terus menghantui saya. Saya jadi terpikir banyak hal yang ingin saya lakukan mulai sekarang dan nanti. Dan entah kenapa, satu hal yang saya rasakan adalah ketakutan. Ketakutan bahwa pilihan hidup yang saya pilih saat ini merupakan pilihan hidup yang... tidak tepat.

Akan tetapi, dengan segala drama dalam pikiran dan masalah di dunia, hal yang mungkin perlu sekali untuk saya syukuri tentu adalah fakta bahwa Filosofi Remaja, likers-nya selalu meningkat setiap minggu. Setidaknya saya tahu bahwa kawan-kawan merasa terbantu dengan adanya blog ini. Dengan post ini, saya hanya ingin mengatakan bahwa saya sangat senang dan bersyukur masih bisa membantu teman-teman semua, baik itu sesimpel masalah bagaimana cara belajar untuk SBMPTN atau sekompleks masalah paradigma tentang hidup.

Tempo hari saya mendapat cukup banyak email dan chat personal dari kawan-kawan pembaca yang mengalami masalah hidup. Lagi-lagi, saya mohon maaf karena hanya bisa read doang. Percayalah bahwa saya sangat ingin sekali membalas pesan kawan-kawan semua. Sayangnya, kondisi saya sekarang ini tidak memungkinkan untuk membalas semua pesan yang masuk.

Baiklah, mungkin cukup segini curhatnya, semoga Tuhan membersamai pergerakan kita semua.

Salam hangat dari saya,

Ifandi Khainur Rahim, (masih) mencoba mengubah paradigma.
Post ini dibuat untuk merayakan #1000LikesFilosofiRemaja